Hamzah Ibrahim Duka Tanjung Priok
By Admin - Juni 21, 2025
Naskah ini telah lolos kurasi dan diterbitkan ke dalam buku yang berjudul "Noctellar"
Noctellar: Puisi untuk Semua Malam di Tahun Ini
adalah kumpulan puisi pilihan dari para peserta Lomba Menulis Puisi Nasional yang diselenggarakan oleh Bintang Nasional dan diterbitkan oleh Yumei Media Utama.
Hamzah Ibrahim
Duka Tanjung Priok
Teronggok dalam bisu
Berporanda dalam kalbu
Resah, lelah
Terbantuk, suntuk
Serangkai nada jiwa meronta
Tak tahan dengan luka yang ada
Tak tahan dengan lara yang menjelma
Satu kutuju, suci kucita:
Merdeka atau binasa!
Jejak syuhada berserabut melingkupi raga
Terpasuk di relung jiwa
Mengalir di tiap tetes darah
Tercipta menyesah para penjajah bangsa
Menyesah para serigala berbulu domba
30 September 1965
Lembaran terkusut perjalanan Nusantara
Serenata golongan kiri
Tergelak di malam sunyi
Terhitung jam menuai dosa
DOR! Enam jenderal, satu perwira
Terkulai dalam lubang malapetaka
Mencoreng bangsa dengan perbuatan bengis
Otaknya komunis, lagaknya nasionalis
PKI, sapu habis!
Mengais masa kanak di bumi yang sunyi
Diam,
Tak ada yang berani
Sorak-sorai tertahan di dalam hati
Diam,
Tak ingin cari mati
Salah ucap, DOR! di muka
Salah tingkah, DOR! di dada
Benar-salah, DOR! di mana saja
Jika tak suka, maka diam saja
1984, tahun ke-tiga puluh sembilan
Tahun terberat umat Muslim Nusantara
Penguasa mengatasnamakan bangsa
Mengesakan Pancasila sebagai ideologi negara
Asas sampah melarang etika beragama
Untuk apa kata “Tuhan” menjadi dasar negara?
Jika anak bangsa tak diberi kebebasan beragama
Untuk apa kata “bijaksana” menjadi dasar negara?
Jika semua ketetapan lahir dari ego semata
Untuk apa Indonesia merdeka?
10 September 1984
Di kawasan Jakarta yang padat
Tanjung Priok, umat Muslim bersyarikat
Senin yang mestinya awal semangat
Menjelma hari luka yang berjelimpat
Datang mereka, binawah berseragam
Berdalih “keamanan” dalam belinjo panas
Masjid mulia diperlaku nista
Disiram najis yang bahkan iblis tak suka
Amarah-amarah ini bergelora
Janji kebebasan — tinggal gema hampa
Seru keadilan, bungkam diredup
Diseret tanpa sebab, diam: tiket hidup
Para hati gundah tak kira
Menanti yang menghilang tanpa suara
Di ujung gulita kami sepakat:
Bela syariat, tolak tiranat!
13 September 1984
Tumpah-ruah iman di nadi kota
Takbir menggelora membelah angkasa
Jerit keadilan terlepas dari relung jiwa
Namun kuasa tiada daya
Gema takbir dibalas dentum
Tuntutan keadilan disapu deru
Jalanan itu kepalang kusut
Paradoks tanah pusaka
Lampiran-lampiran jiwa lenyap
Wafat tak semua tercatat
Menguap, dibungkus gelap
Keluarga mencari dalam peluh
Para mendiang tanpa batu
Sebenarnya, mereka tahu
Namun sejarah — negara yang mencatat"
0 comments
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.