Nella Riznanda Rachmadanti Kehilangan dalam Keabadian
By Admin - Juni 21, 2025
Naskah ini telah lolos kurasi dan diterbitkan ke dalam buku yang berjudul "Noctellar"
Noctellar: Puisi untuk Semua Malam di Tahun Ini
adalah kumpulan puisi pilihan dari para peserta Lomba Menulis Puisi Nasional yang diselenggarakan oleh Bintang Nasional dan diterbitkan oleh Yumei Media Utama.
Nella Riznanda Rachmadanti
Kehilangan dalam Keabadian
Serana pernah bilang “jika kau merasa sepi, kembalilah ke tempatku menanti, sebelum waktu menuntut mati.”
Sadisnya, aku mengalami itu. Herannya, aku pernah menyangkali akalku sendiri berkali-kali melebihi usaha dari akal sehatku untuk membangunkan diriku yang hilang.
Naisnya, jiwaku perlahan mulai terhanyut kedalamnya.
Apa ini? Oh Tuhan, apakah ini yang disebut manusia dengan fase kehilangan?
Kehilangan..
kata yang terdengar seolah-olah menyuruh manusia untuk bersiap-siap mengalami keabadian yang menyedihkan.
Ah sial, aku tak bisa membedakan keduanya.
Kehilangan..
Adalah kata yang cukup untuk menggambarkan sebuah kedewasaan.
Dewasa untuk tumbuh? Iya, tumbuh dari fase kehilangan itu sendiri. Dewasa dari jiwa kekosongan yang tak pernah tau apa yang seharusnya harus diisi.
Dewasa dari logika yang hanya memikirkan bagaimana membuat orang lain bahagia tanpa memikirkan dirinya sendiri.
Dewasa dari dada yang telah patah, sebab kerap sering dihadapkan dengan luka, lalu logika-logika nais hilang kuasanya.
Sayangnya, fase yang kerap disebut kedewasaan itu tiada sesiapa yang mengetahui kapan manusia akan mengalaminya.
Aku bahkan tak pernah menyangka, bahwa aku telah dituntut mati oleh waktu.
Tragisnya, ia menghampiri lewat seseorang yang pernah menghidupiku. Menghidupi jiwa kosong, logika yang hilang dan dada yang telah patah dibuatnya.
Lucu bukan?
Katanya, tak pernah sendiri.
Nyatanya, kau beri aku sepi, disini.
Ucap sideline dalam penggalan lagunya.
“Mengapa? Mengapa seseorang yang datang seolah ingin menghidupi pada awal pertemuan?”
Ucap akal yang telah hilang dan kini telah sadar bahwa kehidupan indah yang ia bawa ternyata berisi pisau tajam didalamnya. Pisau tajam yang menggores dada perlahan-lahan.
Lambat laun, aku dibunuh olehnya. Kerap sekali aku menjerit. Jeritan yang tak pernah bersuara. Bukan karena aku tak ingin, tetapi pisau tajam itu sudah membungkamku dengan suara yang lebih mengerikan.
Kini, diriku telah mati.
Naisnya lagi, Ia mati dalam kehilangan sekaligus keabadian."
0 comments
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.