Detik Bernyawa Karya: Amalia Amanda

By Admin - Juni 21, 2025


Naskah ini telah lolos kurasi dan diterbitkan ke dalam buku yang berjudul "Noctellar

Noctellar: Puisi untuk Semua Malam di Tahun Ini

adalah kumpulan puisi pilihan dari para peserta Lomba Menulis Puisi Nasional yang diselenggarakan oleh Bintang Nasional dan diterbitkan oleh Yumei Media Utama.

Detik Bernyawa
Karya: Amalia Amanda

Kau datang tanpa penawar.
Tindakanku tak lepas dari catatanmu.
Mereka bilang kau penyembuh,
Aku menolak percaya.

Mustahil kau obat.
Napasmu menggurat luka,
Jarimu melukis duka.
Kadang, kau pinjamkan tawa barang sejenak.

Didekapmu album kenangan,
Berisi mahakarya tentangku.
Menciptakan lukisan abstrak tak berujung,
Kadang coretan kusam, sesekali semburat indah,
Melemparku ke tahun-tahun lalu.

Saking terbiasa, hadirmu serupa hampa.
Nyata, tapi tak teraba.
Kita sekamar begitu lama,
Namun tak pernah bertegur sapa.
Isi kepala kita bertentangan.
Aku benci, kau keras kepala,
Bertingkah bak tahu segalanya.

Padahal kau hanya detik diberi nyawa,
Lantas kau jadi berharga.
Ironisnya, kau lebih berharga daripada diriku.

Mengapa kau begitu berkuasa?
Aku selalu kalah bahkan sebelum kita berlomba.
Tak bisakah kau berhenti barang sejenak?
Setidaknya beri aku jeda untuk bernapas.

Kau mengganti hari tanpa persetujuan.
Tawa kau buru-buru,
Duka kau biarkan menetap.

Kutegaskan, aku benci kau yang jahat.
Setiap aku acuh, aku disalahkan.
Dikatai lalai, tak tahu diri.

Kau terlalu banyak menuntut.
Pikirku berkata: minta cerai.
Kurasa tawaku adalah dosa bagimu.

Mereka bilang kau milikku, pun sebaliknya.
Tapi aku tak pernah mampu menggenggammu.
Kau bagai bayangan yang tak mungkin kugapai.
Detikmu membuatku terengah,
Secepat kau menghilang dari pandangan.

Tak maukah kau duduk denganku?
Aku ingin bicara,
Ingin kau diam mendengarkan.
Belum sempat bicara, kau pergi meninggalkan,
Sibuk dengan ribuan detik emasmu.

Begitu tak sudi kau kusentuh,
Atau memang aku yang bodoh?
Sedari awal tak pernah diberi perhatian,
Ternyata aku lebih sering kehilanganmu daripada yang kukira.

Kuakui pepatah benar, kau adalah pedang,
Karena mencabik-cabikku tiap kali aku jatuh.
Kini kusadar, kau tak pernah benar-benar bersamaku.
Hanya datang, menggores, lalu pergi meninggalkan bekas.
Mungkin bukan kau tak ingin dimiliki,
Tapi aku yang tak siap ditinggali."





  • Share:

You Might Also Like

0 comments

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.